Home » » Sehidup se-Surga

Sehidup se-Surga

Written By Unknown on Minggu, 15 Desember 2013 | 16.43

oleh: KH.Faris Khoirul Anam, Lc., M.H.I.

Untuk menampakkan kesetiaan dan harapan untuk selalu bersama, orang sering mengutarakan istilah “sehidup semati”. Secara eskplisit, kita dapat menangkap maksud ungkapan populer di tengah masyarakat, terutama mereka yang tengah dimabuk cinta itu. Suatu ujaran yang mencerminkan suatu keinginan untuk hidup bersama, mati pun kalau bisa bersama. Namun dari sudut pandang hakikat dan tujuan hidup, apakah konsep “sehidup semati” itu sudah cukup? Mari kita ambil contoh seperti ini. Si A dan si B berteman akrab. Ke sana kemari keduanya sering bersama. Mereka banyak menghabiskan waktu berdua. Namun sayang, pertemanan mereka tak diisi dengan ibadah. Sebaliknya, aktifitas bersama keduanya adalah hal-hal buruk yang tidak diridhai Allah. Keakraban semu duniawi tersebut akhirnya sampai pada ending story: mereka mati bersama karena over dosis atau keracunan dalam suatu pesta minuman keras.

Apakah kematian keduanya secara bersama-sama ini mendalilkan suatu pertemanan dan kesetiaan abadi? Ternyata tidak. Al-Qur’an menuturkan, saat hubungan antara dua orang atau lebih diisi dengan perbuatan dosa, dan bukan untuk suatu kebaikan (lihat: Al-Maidah: 2), di akhirat, pertemanan ini akan berubah menjadi permusuhan dan bantah-bantahan (lihat: ash-Shaffat: 24-33). Di dunia mereka memang berteman akrab. Bahkan harapan untuk mati bersama telah terpenuhi. Namun ternyata, di akhirat ‘kesetiaan’ itu berubah menjadi permusuhan sengit. Wal hasil, ungkapan ‘sehidup semati’ saja tidak cukup bagi kita. Lalu? Ya, kita menginginkan hubungan penuh kesetiaan yang abadi. Reuni dengan orang-orang tercinta yang telah lama berpisah adalah momen indah. Bagaimana bila ternyata reuni akbar tersebut tempatnya adalah surga? Tak hanya itu, bagaimana bila ternyata peserta reuni itu adalah keluarga tercinta kita, serombongan masuk surga?

Inilah yang tersirat dari firman Allah SWT surat at-Tur ayat 21 yang artinya: “Dan orang-orang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” Ayat tersebut menjelaskan, anak cucu yang beriman itu akan dikumpulkan dengan bapak-bapak mereka di surga. Dengan syarat, seluruh anggota keluarga tersebut disatukan oleh keimanan kepada Allah SWT. Itu artinya, jangan harap akan terjadi reuni bersama keluarga di surga, bila ada anggota keluarga yang ‘membelot’ dengan tidak beriman. Dalam al-Qur’an dijelaskan, banyak keluarga yang tidak dapat lagi bertemu di akhirat. Misalnya, Nabi Nuh dengan anak dan istrinya, Asiyah yang mukminah dengan suaminya Fir’aun, begitu pula Nabi Luth dengan istrinya. Allah menjelaskan dalam Surat ar-Ra’d ayat 18-22, reuni keluarga besar di surga Aden akan terwujud asal terpenuhi delapan syarat. Berikut syarat-syarat tersebut, disertai penjelasan singkat dari Tafsir Muyassar (Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turki, dkk, hal. 252-254).

Pertama, memenuhi seruan Allah, yakni patuh pada aturan Allah dan Rasul-Nya.

Kedua, memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian itu. Sementara perjanjian terbesar manusia dengan Allah adalah dengan beribadah kepada-Nya.

Ketiga, ‘menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan’. Maksudnya, menjalin hubungan dengan kerabat atau orang-orang yang membutuhkan bantuan. Keempat, takut kepada Allah dan takut kepada hisab yang buruk. Senantiasa sadar bahwa ia diawasi oleh Allah, takut bila suatu saat harus mempertanggungjawabkan dosa-dosanya, atau bila dosa-dosa itu tak diampuni Allah.

Kelima, bersabar karena mencari keridhaan Allah. Dengan kalam lain, bersabar dalam menghadapi sesuatu yang tidak ia sukai, senantiasa bersabar dalam menjalani ketaatan dan dalam meninggalkan kemaksiatan. Kesemua itu dijalani demi mendapatkan ridha Allah, bukan karena karena pamer, mencari popularitas, atau lainnya.

Keenam, mendirikan shalat. Termasuk memerintahkan dan mengawasi pelaksanaan shalat anggota keluarga.

Ketujuh, menafkahkan sebagian rejeki, baik berupa zakat wajib atau shadaqah sunnah, secara sembunyi atau terang-terangan.

Kedelapan, menolak kejahatan dengan kebaikan. Artinya, selalu berkomitmen untuk tidak berbuat keburukan. Justru ia mengganti keburukan itu dengan kebaikan. Namun bila khilaf melakukan kesalahan, ia segera menutupinya dengan kebaikan, sehingga mendapat ampunan dari Allah.

Mereka yang dapat memenuhi kedelapan kriteria inilah, orang-orang yang bakal mendapat ‘tempat kesudahan yang baik’, yaitu surga Aden. Sekali lagi, bersama bapak-bapak, istri-istri, dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat mereka dari semua pintu (QS. Ar-Ra’d: 22-23). Semoga Allah mewujudkan kebersamaan abadi itu untuk kita, keluarga, dan siapapun yang kita cinta. Bersama mereka, sehidup se-surga!

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | zoel | KUA
Copyright © 2013. Pelopor Pelayanan Berbasis IT - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by KUA Klojen
Proudly powered by KUA Klojen