Home » , » Pernikahan Wanita Yang Hamil Di Luar Nikah Tidak Sah

Pernikahan Wanita Yang Hamil Di Luar Nikah Tidak Sah

Written By Unknown on Senin, 17 Februari 2014 | 20.26

oleh : Ahmad Hadiri, S.Ag
Penghulu Muda Pada KUA Kec. Klojen

Era globalisasi adalah era bebas yang disamping memberikan banyak dampak positif tetapi juga banyak dampak negatif. Akses internet yang tidak terbatas dengan mudah diakses via gadget oleh semua orang termasuk anak-anak dibawah umur. Sementara perhatian orang tua maupun didunia pendidikan tidak mungkin tercurah selama 24 jam bagi anak-anak.

Era globalisasi secara kasar bahkan bisa disebut sebagai era dimana tontonan telah menjadi panutan. Salah satu dampaknya adalah pergaulan bebas yang banyak sekali menimbulkan hubungan terlarang yang berakibat hamil diluar nikah.

Hukum asal bagi pezina yang belum pernah menikah dalam kajian fiqh adalah dihukum cambuk dan diasingkan selama 1 tahun ditempat terpencil. Namun karena Indonesia bukan Negara Islam yang menerapkan syariat Islam secara sempurna, maka pelaku seharusnya melakukan taubatan nasuha atas apa yang dia lakukan. Terus dalam rangka pertaubatan itu apakah harus dinikahkan?

Tidak ada kajian yang menjelaskan bahwa pertaubatan dari zina ini harus dinikahkan, namun umumnya pihak perempuan yang dihamili berupaya menutupi aib ini dengan cara “memaksa” orang yang menghamilinya atau “membayar” orang lain yang mau berkorban menutupi aib.

Prinsip pernikahan atau transaksi dalam akad apapun haruslah “an ta rodlin” saling rela dan tidak ada paksaan. Imam Malik Ibn Anas RA berdasar hadits لا طلاق في إغلاق يريد إكراه berfatwa bahwa segala transaksi yang dipaksakan itu batal
Ancaman pihak perempuan “memenjarakan” orang yang menghamili apabila tidak mau bertanggungjawab atas perbuatannya dengan menikahi orang yang dihamilinya menjadi masalah yang bertentangan dengan prinsip transaksi dalam Islam dan menjadi masalah yang serius karena terkait dengan keabsahan pernikahan.

Syeh Muhammad Amin Al Kurdy dalam Kitab Tanwirul Qulub menyatakan :
Kitab Tanwirul Qulub

وأن يكون مختارا فلا يصح نكاح مكره

… dan (orang yang hendak menikah itu) haruslah dengan kemauan sendiri, maka tidak sah pernikahan orang yang dipaksa

Senada dengan Syeh Muhammad Amin Al Kurdi, Imam Ibrahim al Bajuri dalam kitab Hasyiyah al Bajuri Juz 2 halaman 100 juga menyatakan :

وشروط الزوج كونه حلالا فلا يصح نكاح محرم ولو بوكيله وكونه مختارا فلا يصح نكاح مكره بغير حق بخلاف ما لو كان مكرها بحق كما لو أكره على نكاح من طلقها طلاقا بائنا بدون الثلاث وهى مظلومة فى القسم فإنه يصح . اهـ

Pernikahan disyaratkan harus halal, tidak diperkenankan dengan mahram (orang yang haram dinikahi)nya meski saat akad diwakilkan. Pernikahan juga harus dilakukan dengan prinsip sukarela tidak dalam paksaan tanpa haq. Berbeda apabila pemaksaan itu tersebab oleh talak suami yang mendzalimi giliran isterinya, maka hal ini sah dilakukan.

Nikah yang dipaksa polisi dengan ancaman penjara atas laporan keluarga perempuan yang dihamili memang tidak sah menurut Assyafi’iyyah, bila tidak ada indikasi lelaki yang akan menikahi itu mempunyai hak memilih. Pernikahan yang dipaksa ini ,tergolong nikahul mukroh bi ghoiri haq (pemaksaan tanpa yang tidak benar).

Dalam kajian hukum Islam sendiri terkait dengan pernikahan yang dilangsungkan saat pihak perempuan hamil, terjadi banyak ulama berbeda pendapat. Imam Abi Qudamah yang bermadzhab Hambali dalam kitab Mughni menyatakan :

فَصْلٌ : وَإِذَا زَنَتْ الْمَرْأَةُ , لَمْ يَحِلَّ لِمَنْ يَعْلَمُ ذَلِكَ نِكَاحَهَا إلَّا بِشَرْطَيْنِ ; أَحَدُهُمَا , انْقِضَاءُ عِدَّتِهَا , فَإِنْ حَمَلَتْ مِنْ الزِّنَى فَقَضَاءُ عِدَّتِهَا بِوَضْعِهِ , وَلَا يَحِلُّ نِكَاحُهَا قَبْلَ وَضْعِهِ . وَبِهَذَا قَالَ مَالِكٌ وَأَبُو يُوسُفَ . وَهُوَ إحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ . وَفِي الْأُخْرَى قَالَ : يَحِلُّ نِكَاحُهَا وَيَصِحُّ . وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ ; لِأَنَّهُ وَطْءٌ لَا يَلْحَقُ بِهِ النَّسَبُ , فَلَمْ يُحَرِّمْ النِّكَاحَ , كَمَا لَوْ لَمْ تَحْمِلْ

Ketika seseseorang wanita berzina, tidak halal bagi yang mengetahuinya menikahinya kecuali dengan dua syarat; pertama iddahnya sudah habis, apabila dia hamil dari hasil perzinaan itu maka iddahnya habis bila wanita hamil tersebut telah melahirkan. Tidak sah pernikahannya sebelum melahirkan. Pendapat ini diamini oleh Imam Malik peletak dasar Madzhab Maliki dan Imam Abu Yusuf salah satu ulama dari Madzhab Hanafi. Hanya Madzhab Syafii yang berpendapat tentang kebolehan menikahi wanita hamil dan keabsahan pernikahannya, karena hubungan badan yang tidak sah tidak dapat membuat terhubungnya nasab, karenanya pernikahannya tidak diharamkan seperti saat seorang wanita tidak hamil.

Berdasar penjelasan dalam kitab Bughyat al Musytarsyidin 249 -250, Team Kajian Hukum Islam Pondok Pesantren As Sunniyah Pasuruan menyatakan ; perempuan yang hamil di luar nikah jika dinikahkan dengan laki-laki yang berhubungan badan dengannya atau yang lainnya dengan tujuan menutupi aib pelaku atau menjadi ayah dari anak dalam kandungan, maka haram hukumnya dan wajib bagi penguasa membatalkan acara itu. Bagi yang menghalalkan acara itu dengan tujuan tersebut di atas, dihukumi keluar dari agama islam dan dinyatakan murtad (haram dishalati jika meninggal, dan tidak dikubur dimakam islam) karena adanya penipuan nasab dengan berkedok agama sehingga mengakui bayi yang lahir sebagai anaknya padahal diluar nikah, mendapatkan warisan padahal sebenarnya bukan dzawil furudh, menjadi wali nikah jika yang lahir perempuan padahal bukan menjadi ayahnya yang sebenarnya (berarti nikahnya tidak sah), atau anak yang lahir menjadi wali nikah dari keluarga laki-laki yang mengawini ibunya, bersentuhan kulit dengan saudara perempuan laki-laki itu dengan berkeyakinan tidak membatalkan wudlu’ dst.

Beratnya kasus pernikahan wanita hamil ini harus menjadi perhatian dikalangan anak muda yang mulai tergiur dengan pergaulan bebas dan menganggap hamil diluar nikah dapat ditutupi dosanya dengan menikahinya. Mengikuti kaidah hukum Islam yang menyatakan al khuruz min al khilaf mustahab keluar dari perbedaan pendapat ulama itu hukumnya sunnah, maka sebaiknya kita berpedoman pada pendapat ulama yang menganggap pernikahan wanita hamil tidak sah dan harus dihindarkan. Generasi muda Islam harus menyelamatkan para wanita muslimah dari pergaulan bebas yang menyesatkan, sebagaimana Islam mengagungkan derajat para wanita.
Share this article :

+ komentar + 4 komentar

23 Februari 2014 pukul 19.01

tulisan saudara ini bertentangan dengan mazhab syafi'i yang berlaku di Indonesia, karena boleh saja orang hamil menikah dengan orang yang menghamilinya dan itu sah, tapi anak yang lahir bukan anak orang yang menghamilinya secara hukum, dia cuma anak biologis yang memiliki hubungan nasab dengan ibunya. jadi ngak usah menunggu anak lahir dulu baru menikah, karena hamil karena zina tidak ada iddahnya, kecuali hamil dalam nikah yang sah baru ada iddahnya, yaitu sampai ia melahirkan.

11 Maret 2014 pukul 18.57

baca dengan teliti, sebelum berkomentar

12 Maret 2014 pukul 16.49

Ketika seseseorang wanita berzina, tidak halal bagi yang mengetahuinya menikahinya kecuali dengan dua syarat; pertama iddahnya sudah habis, apabila dia hamil dari hasil perzinaan itu maka iddahnya habis bila wanita hamil tersebut telah melahirkan. Tidak sah pernikahannya sebelum melahirkan. Pendapat ini diamini oleh Imam Malik peletak dasar Madzhab Maliki dan Imam Abu Yusuf salah satu ulama dari Madzhab Hanafi. Hanya Madzhab Syafii yang berpendapat tentang kebolehan menikahi wanita hamil dan keabsahan pernikahannya, karena hubungan badan yang tidak sah tidak dapat membuat terhubungnya nasab, karenanya pernikahannya tidak diharamkan seperti saat seorang wanita tidak hamil.

2 Desember 2015 pukul 22.21

keren gan infonya, thanks
souvenir pernikahan murah

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | zoel | KUA
Copyright © 2013. Pelopor Pelayanan Berbasis IT - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by KUA Klojen
Proudly powered by KUA Klojen