Home » » Menjaga Amanat Allah Dengan Mencatatkan Pernikahan.

Menjaga Amanat Allah Dengan Mencatatkan Pernikahan.

Written By Unknown on Selasa, 11 Februari 2014 | 21.58

Allah SWT menciptakan makhluk hidup, khususnya manusia, berpasang-pasangan. Ada laki-laki dan juga ada perempuan. Mereka diciptakan supaya saling mengenal dan saling melindungi antara yang satu dengan yang lainnya. Masing-masing manusia bisa dipastikan akan membutuhkan kebahagian. Kebahagian dalam beribadah, berkarir, berpolitik dan yang tidak kalah penting adalah kebahagiaan dalam membangun rumah tangga. Kebahagiaan yang terakhir ini, hanya bisa dirasakan setelah adanya perkawinan atau lebih tepatnya setelah adanya pasangan hidup yang merupakan kodrat dan ketetapan Ilahi atas segala makhluk.

Setiap manusia, secara naluri, senantiasa membutuhkan pendamping hidupnya yang dapat saling mengisi dan melindungi, dan ketika perasaan ini ada dan mereka menemukan pasangan yang cocok, maka tumbuhlah rasa cinta di antara mereka. Artinya, tujuan diciptakannya laki-laki dan perempuan adalah supaya mereka saling mengenal, tumbuh perasaan cinta dan kasih sayang. Baru kemudian, mereka akan berpikir untuk hidup bersama dalam ikatan perkawinan sesuai dengan aturan yang ada dalam shari‘at Islam, sehingga terciptalah rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Hal itu senada dengan firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Rum (21).

Perkawinan merupakan lembaga legislasi untuk menghalalkan hubungan seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Ketertarikan seseorang terhadap lawan jenisnya oleh shari‘at Islam diarahkan kepada sebuah ikatan yang disebut dengan perkawinan. Pada awalnya, kawin hanyalah merupakan konsep sederhana, yaitu konsep al-jam’ atau menyatukan dua orang yang berlainan jenis dengan satu ikatan tertentu dan dengan syarat serta rukun tertentu pula. Namun, akhirnya ‘ulama’ memberikan sebuah definisi baku tentang perkawinan, yaitu sebuah ikatan suci yang dilambangkan dengan adanya ijab qabul oleh seorang laki-laki di hadapan wali dari si perempuan. Setelah itu si laki-laki akan berstatus menjadi suami sedangkan si perempuan menjadi istri.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada Pasal (2) disebutkan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau mithaqan ghalizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menjelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau (rumah tangga) yang bahagia dan sejahtera berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.

Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan disebutkan:
(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sedangkan pada Pasal 5 KHI ayat (1) dan (2) disebutkan:
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) , dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam UU No. 22 Tahun 1946 jo UU No. 32 Tahun 1954.

Pada Pasal 6 KHI ayat (1) dan (2) disebutkan:
(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.

Secara normatif memang demikian, namun pada tataran praktis banyak orang yang masih melalukan perkawinan “malu-malu” kalau tidak mau disebut sembunyi-sembunyi. Perkawinan semacam ini lebih populer dengan istilah kawin sirri; yaitu perkawinan yang hadiri oleh kedua mempelai putra-putri, wali nikah, dan 2 orang saksi, akan tetapi tidak dicatatkan di KUA. Nikah sirri mungkin secara syar'i tidak bermasalah, namun pada saat suami ternyata tidak bertanggungjawab, isteri tidak dapat menuntut haknya didepan pengadilan karena tidak diakui oleh Negara secara hukum. Karenanya Imam Hasanain Muhammad Mahluf dalam bukunya Fatawa Syar'iyah halaman 90 menyatakan :

إن عقد الزواج العرفي إذا استوفي أركانه وشروطه الشرعية تحل به المعاشرة بين الزوجين ديانة ولكن له نتائج خطيرة عند الجحود والتقاضي فالجواب لمصلحة الزوجين ان لا يقدما عليه وأن لايتعاشرا معاشرة الأزواج إلا بعد إثبات عقد الزواج رسميا بالطريق القانوني, والله أعلم

Sesungguhnya akad nikah kebiasaan (sirri:indonesia) apabila rukun, syaratnya secara syar'i dapat dipenuhkan maka halal berhubungan suami isteri secara agama, tetapi pada saat terjadi pengingkaran atau hal yang terkait dengan urusan kenegaraan/hukum mereka membutuhkan bukti, maka untuk kemaslahatan suami isteri sebaiknya tidak melakukan itu (nikah sirri) dan sebaiknya tidak melakukan hubungan suami isteri sebelum ditetapkan oleh negara secara resmi sesuai undang-undang.

Kiranya fatwa Imam Hasanain cukuplah sebagai dasar pijakan agar mereka memang yang serius menikah bertekad menjamin hak-hak pasangannya dan membuktikan tanggungjawabnya dalam mengemban amanah Allah dengan mencatatkan pernikahannya di Kantor Urusan Agama.


Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | zoel | KUA
Copyright © 2013. Pelopor Pelayanan Berbasis IT - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by KUA Klojen
Proudly powered by KUA Klojen