Home » » Kembali Ke Fitrah Keluarga

Kembali Ke Fitrah Keluarga

Written By Unknown on Sabtu, 15 September 2012 | 16.25

Dalam mempersiapkan generasi mendatang sebagai dzurriyatan thayyibah yang kelak bisa menjadi khaira ummah ukhrijat linnas, segenap lapisan masyarakat (orang tua-pendidik-agamawan) kini tengah menghadapi masalah yang komplek, mulai dari masalah institusi, management, SDM kependidikan, kurikulum, sarana dan prasarana, teknologi kependidikan, pendanaan, kepercayaan dan partisipasi masyarakat, kualitas out putnya, serta relevansinya dengan dinamika mesyarakat dan tuntutan sosiokultural sekitarnya. Pendidikan Islam, baik dalam kontek nasional Indonesia maupun sebagai bagian dari dunia, kini tengah menghadapi tantangan yang berat. Dinamika pendidikan sebagai salah satu wujud pelayanan publik yang dinamis dituntut harus mampu mengemas diri dengan prinsip-prinsip pelayanan yang bersifat: 1. Dinamis, 2. Relevan, 3. proporsional, dan 4. Konprehensip. Yang dimaksud pendidikan Islam di sini tidak terbatas pada label Islam atau lembaga keislaman, seperti pondok pesantren atau madrasah, juga tidak terbatas pada pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam seperti Tauhid, Fiqih, Tafsir, Tasawuf dan lain-lain. Pendidikan Islam mencakup semua aktifitas, mulai konsep, visi, misi, institusi, kurikulum, metodologi, SDM kependidikan, dan sebagainya. Yang disemangati dan bersumber pada ajaran dan nilai-nilai Islam yang menyatu dalam proses semua aktifitas tersebut.
Dalam menyikapi masalah pendidikan yang komplek tersebut kita harus mampu mengemas reformulasinya sekaligus menawarkan visi dan pendekatan yang tetap memelihara karakter yang sesuai dengan fitrah anak didik yang ditetapkan oleh Allah melalui rasul-Nya, baik berupa “fitrah mukhallaqah” (sifat-sifat orisinil kejadian manusia dengan segala naluri, kecenderungan, bakat dan potensinya) maupun “fitrah munazzalah” (agama sebagai pedoman hidup manusia untuk mencapai kesejahteraan yang bermartabat di dunia dan akhirat). Pada hakekatnya tujuan makro pendidikan Islam adalah: 1. Untuk menyelamatkan fitrah manusia dengan segala komitmen ketauhidan dan loyalitasnya kepada Allah SWT. 2. Untk mengembangkan potensi-potensi fitrah manusia (aqliyah-qalbiyah-jasmaniyah) sehingga mampu dan kompeten melakukan tugas-tugas kekhalifahan di bumi dengan segala dimensinya. 3. Untuk menyelaraskan langkah perjalanan fitrah mukhallaqah manusia dengan fitrah munazzalah. Dalam pandangan Islam, manusia itu ditetapkan sebagai “makhluk unggulan” yang dibekali dengan berbagai macam potensi yang luar biasa, tetapi manusia juga mempunyai kelemahan yang fatal, yakni mudah kena pengaruh, gampang menerima intervensi, rawan kena virus mental – yang antara lain karena faktor hawa nafsunya yang sering dominan, yang dalam istilah al Qur’annya “ittakhadza ilaahahu hawaahu” yakni “mempertuhankan hawa nafsunya”. Peran keluarga dalam menyelamatkan fitrah manusia Keluarga, dalam perspektif sosiologis, psikologis, paedagogis maupun agama memiliki peranan strategis dan sangat penting dalam pendidikan anak, sebab di dalam keluarga terjadi akumulasi interaksi fitrah anak-anak itu dengan lingkungan orang-orang terdekatnya (orang tuanya, saudara-saudaranya, dan anggota keluarga lain). Di sana terjadi proses pembelajaran, pembiasaan, dan pembudayaan setiap waktu. Di sana juga terjadi peneladanan dan peniruan, juga terjadi internalisasi nilai-nilai dan penanaman keyakinan. Oleh karena begitu pentingnya peranan keluarga sebagai pranata kependidikan, sampai-sampai Nabi Muhammad saw menyatakan, bahwa agama seorang anak (menjadi Yahudi, Nasrani, Majusi maupun Islam) tidak terlepas dari pengaruh dan tanggung jawab kedua orang tuanya. Tetapi dalam realitas kehidupan sekarang ini, peranan keluarga sebagai pranata kependidikan menjadi lemah dan bahkan mengalami disfungsi karena beberapa sebab dan alasan. Alasan yang paling banyak dikemukakan adalah “tidak mempunyai waktu” untuk mendidik anak-anaknya. Bagi masyarakat lapisan bawah, tidak punya waktu untuk mendidik anaknya karena waktunya habis untuk memenuhi kebutuhan hidup, pagi berangkat kerja, pulang larut malam agar dapat mempertahankan hidup. Untuk lapisan menengah, waktunya habis untuk memenuhi kesenangan hidup, ingin punya kendaraan bagus, ingin rumah mewah, ingin perabot rumah yang cukup, rajin arisan, aktif melakukan fitnes dan lain-lain, mereka ingin agar dirinya tampak tidak ketinggalan dari orang lain. Sedangkan bagi lapisan atas, waktunya habis untuk mengejar karier dalam jabatan publik atau bisnis, waktunya habis untuk mengejar kekuasaan politik atau organisasi, termasuk juga bagi muballigh dan da’i yang waktunya habis untuk kegiatan ceramah. Tetapi, akibat yang ditimbulkan oleh semua lapisan tersebut tetap sama, yakni tidak sempat lagi melakukan fungsi pendidikan terhadap anak-anaknya, dan lebih gampang mempercayakan pendidikan anaknya kepada pihak lain, baik individu maupun institusi, dengan risiko “ketidakjelasan lingkungan pendidikan di situ menjamin upaya penyelamatan fitrah serta pengembangan potensi-potensinya atau tidak”. Di negara-negara maju, sekarang ini muncul kecenderungan dalam masyarakat untuk menjadikan kembali keluarga sebagai basis pendidikan anak di bawah semboyan “back to family”, peran keluarga dihidupkan kembali dalam pembentukan watak dan kepribadian anak, serta penanaman dan pengembangan nilai-nilai moral anak. Dengan melemahnya peran keluarga sebagai pranata kependidikan, maka masyarakat kemudian menoleh ke lambaga-lembaga di luar keluarga, apakah namanya pesantren, madrasah, sekolah dan lain-lain. Visi, misi, dan program kependidikan dari lembaga-lembaga tersebut sering kali mengalami keterbelahan orientasi. Di satu pihak terlalu berfokus kepada “penyelamatan fitrah”, dengan konsentrasi pada pendidikan nilai-nilai serta pembudayaan sikap dan perilaku yang etis dan religius, yang mencitrakan ketaatan beribadah, keikhlasan, kejujuran, kesederhanaan hidup, namun kurang konsern terhadap pengembangan potensi-potensi fitrah manusia yang lain, seperti sikap kritis, kreatif, disiplin waktu, semangat berprestasi, peduli lingkungan, kualitas sklill. Di lain pihak, visi, misi dan programnya ada yang berfokus pada “peningkatan kualitas fikir”, penguasaan keterampilan, pengembangan sikap-sikat rasional, kritis dan analitis, serta keberanian melakukan percobaan-percobaan, namun kurang peduli terhadap penyelamatan fitrah anak didik. Di luar itu juga ada lembaga pendidikan yang hanya mengejar “formalitas angka” semata, tanpa melihat penguasaan substansi dan sikap serta perilaku anak didik. Pendidikan yang mempunyai citra religius, etis dan humanis itu sebenarnya dikenal dalam semua kebudayaan dan masyarakat, baik di Barat maupun di Timur. Namun pendidikan yang mempunyai orientasi terhadap penyelamatan fitrah ini secara berangsur-angsur tergerus oleh arus pendidikan sekuler yang muncul di Eropa, yang mengusung dimensi rasional yang mudah menarik perhatian karena hasil-hasilnya mudah dilihat, dirasakan dan dievaluasi. Serta pendidikan tersebut, disamping telah melahirkan kemajuan ilmu pengetahuan, juga mendongkrak tingkat kemakmuran dan kesejahteraan materi umat manusia. Tetapi pendidikan skuler tidak banyak menjawab fenomena kemerosotan moral, perilaku sosial yang dekaden, runtuhnya kesadaran humanis, dan munculnya budaya kekerasan serta berbagai macam sikap agresip. Di sisi lain “pendidikan agama” terasa gersang dan kehilangan kesegarannya karena pendidikan agama banyak diberikan sebatas sebagai “pelajaran tentang agama” atau “pengetahuan tentang ilmu-ilmu agama” dan kehilangan ruhnya yang mampu membangkitkan kelumpuhan ruhani dan pencerahan kepudaran hati nurani. Banyak sekolah, termasuk guru agamanya yang lebih melihat pelajaran agama sebagai ilmu, bukan sebagai standar nilai-nilai yang harus diaplikasikan secara kontektual dan aktual bagi kehidupan anak didik. Pelajaran agama lebih menekankan aspek kognitif. Di samping itu pendidikan agama dan juga pembelajaran ilmu-ilmu agama disampaikan dengan pendangkalan karena keterbatasan guru dalam penguasaan materi, serta tidakadanya keteladanan sikap dan perilaku guru atau prinsip “uswah hasanah” terhadap anak didik. Padahal proses internalisasi nilai melalui peneladanan lebih efektif dari pada melalui ucapan dan kata-kata. Adanya sosok guru termasuk pimpinan sekolah yang dapat menjadi figur panutan akan lebih besar pengaruhnya dari pada berkali-kali menyelenggarakan ceramah dan seminar tanpa adanya figur yang patut diteladani. Dan perlu diingat, keberhasilan Nabi Muhammad saw. dalam mendidik keluarga dan sahabat-sahabatnya adalah karena adanya keseimbangan antara “mau’idzah hasanah” dengan “uswatun hasanah”. Menyadari kondisi pendidikan Islam yang demikian, maka diperlukan gagasan kreatif dan segar, serta upaya-upaya dinamik untuk menyelenggarakan model pendidikan Islam yang eksellent, yang bermartabat, yang menjadi kebanggaan umat, serta mampu memberi jawaban terhadap tuntutan global. Pendidikan yang demikian memang memerlukan persyaratan yang tidak enteng, seperti: 1. SDM kependidikan dengan standard yang terseleksi yang memenuhi syarat kompetensi personal, kompetensi profesional, kompetensi moral dan sosial, yang mampu berperan sebagai pengajar, pendidik sekaligus sebagai panutan di tengah-tengah anak didiknya. 2. Lingkungan pendidikan yang kondusif yang memberikan suasana damai, bersih, tertib, aman, indah, dan penuh kekeluargaan. Lingkungan yang memberikan kebebasan anak didik untuk berekspresi, mengembangkan bakat dan minatnya, berinteraksi sosial yang sehat dan saling menghormati dalam suasana religius, etis, dan humanis. Model pendidikan yang demikian, sepintas memang kelihatan elitis dan mahal, namun perlu dikembangkan, agar pendidikan Islam dapat menyesuaikan diri dengan dinamika dan kebutuhan masyarakat yang tujuan dan harapannya adalah terwujudnya pendidikan Islam yang dapat berperan sebagai penyelamatan fitrah dan sekaligus sebagai pengembangan potensi-potensinya sehingga out putnya memiliki kualitas sebagai orang-orang yang mempunyai hati yang sehat (qalbun salim), di samping memiliki keunggulan fisik dan keluasan ilmu pengetahuan (basthotan fil ‘ilmi wal jism), sebagaimana yang diisyaratkan oleh Allah SWT dalam Kitab Suci-Nya. Mudah-mudahan gagasan ini mampu menjadi pencerahan bagi kita semua, sehingga keluarga kita dapat menjadi pusat pendidikan anak-anak kita dan lembaga-lembaga pendidikan kita menjadi lingkungan pendidikan yang kondusif terhadap penyelamatan fitrah serta pengembangan fikir dan dzikir peserta didiknya. Amin.
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | zoel | KUA
Copyright © 2013. Pelopor Pelayanan Berbasis IT - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by KUA Klojen
Proudly powered by KUA Klojen